Tahukah
Anda Siapa penghasil oksigen terbesar di bumi ? Kalau jawaban Anda
adalah pohon, ups maaf masih salah. Pohon adalah salah satu penyumbang
oksigen, akan tetapi hanya sebesar 20% untuk bumi. Pohon berguna untuk
mitigasi (mengurangi) karbondioksida yang ada di bumi.
Jadi
untuk mengurangi dampak pemanasan global, tanamlah pohon agar CO2 nya
dapat dimanfaatkan oleh pohon. Karena nilai wajar dari CO2 adalah
0,1% di bumi ini, tetapi tahun 2010 ini kadar CO2 di atmosfer bumi
sudah mencapai 0,3%.
Jadi jawaban yang benar adalah Plankton, khususnya adalah Fitoplankton. Plankton didefinisikan sebagai organisme hanyut apapun yang hidup dalam zona pelagik (bagian atas) samudera, laut, dan badan air tawar. Secara luas plankton dianggap sebagai salah satu organisme terpenting di dunia, karena menjadi bekal makanan untuk kehidupan akuatik.
Bagi
kebanyakan makhluk laut, plankton adalah makanan utama mereka.
Plankton terdiri dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan laut. Ukurannya kecil
saja. Walaupun termasuk sejenis benda hidup, plankton tidak mempunyai
kekuatan untuk melawan arus, air pasang atau angin yang
menghanyutkannya.
Plankton hidup di pesisir pantai di mana ia mendapat bekal garam mineral dan cahaya matahari yang mencukupi. Ini penting untuk memungkinkannya terus hidup. Mengingat plankton menjadi makanan ikan, tidak mengherankan bila ikan banyak terdapat di pesisir pantai. Itulah sebabnya kegiatan menangkap ikan aktif dijalankan di kawasan itu.
Selain
sisa-sisa hewan, plankton juga tercipta dari tumbuhan. Jika dilihat
menggunakan mikroskop, unsur tumbuhan alga dapat dilihat pada
plankton. Beberapa makhluk laut yang memakan plankton adalah seperti
batu karang, kerang, dan ikan paus. Plankton adalah organisme yang
menyumbang 80% kebutuhan oksigen yang ada di bumi ini.
Dengan
kemampuannya berespisari menghasilkan gelembung-gelembung oksigen
yang terdapat di dalam laut, oksigen tersebut terlepas ke udara dan
menjadi gas yang bisa kita nikmati sekarang. Para ilmuwan dari Amerika
Serikat menemukan plankton secara tidak langsung dapat membuat awan
yang dapat menahan sebagian sinar matahari yang merugikan. Sehingga
plankton bisa membantu memperlambat proses pemanasan bumi.
Dierdre Toole dari Institusi
Oceanografi Woods Hole (WHOI) dan David Siegel dari Universitas
California, Santa Barbara (UCSB) adalah dua peneliti itu. Penelitian
yang dibiayai oleh NASA tersebut mengungkapkan ketika matahari
menyinari lautan, lapisan atas laut (sekitar 25 meter dari permukaan
laut) memanas, dan menyebabkan perbedaan suhu yang cukup tinggi dengan
lapisan laut di bawahnya. Lapisan atas dan bawah tersebut terpisah
dan tidak saling tercampur.
Plankton
hidup di lapisan atas, tapi nutrisi yang diperlukan oleh plankton
terdapat lebih banyak di lapisan bawah laut. Karenanya, plankton
mengalami malnutrisi. Akibat kondisi malnutrisi ditambah dengan suhu
air yang panas, plankton mengalami stress sehingga lebih rentan
terhadap sinar ultraviolet yang dapat merusaknya. Karena rentan
terhadap sinar ultraviolet, plankton mencoba melindungi diri dengan
menghasilkan zat dimethylsulfoniopropionate (DMSP) yang berfungsi untuk
menguatkan dinding sel mereka.
Zat ini jika terurai ke air akan menjadi zat dimethylsulfide (DMS). DMS kemudian terlepas dengan sendirinya dari permukaan laut ke udara. Di atmosfer, DMS bereaksi dengan oksigen sehingga membentuk sejenis komponen sulfur. Komponen sulfur DMS itu kemudian saling melekat dan membentuk partikel kecil seperti debu. Partikel-partikel kecil tersebut kemudian memudahkan uap air dari laut untuk berkondensasi dan membentuk awan.
Jadi,
secara tidak langsung, plankton membantu menciptakan awan. Awan yang
terbentuk menyebabkan semakin sedikit sinar ultraviolet yang mencapai
permukaan laut, sehingga plankton pun terbebas dari gangguan sinar
ultraviolet.
Proses
ini sebenarnya telah beberapa tahun dipelajari di laboratorium oleh
para ilmuwan, namun proses alamiahnya baru kali ini dapat dipelajari.
Awan yang disebabkan oleh plankton ini, dipercaya dapat memperlambat
proses pemanasan bumi, serta memiliki efek besar tehadap iklim bumi.
Namun, untuk membuktikan hal tersebut, masih harus dilakukan penelitian
lanjutan yang seksama.
Penelitian
yang dilakukan di Laut Sargasso, lepas pantai Bermuda ini juga
menemukan secara mengejutkan bahwa partikel DMS ini dapat terurai
dengan sendirinya di udara setelah tiga sampai lima hari saja. Padahal,
karbondioksida di udara, dapat bertahan hingga berpuluh-puluh tahun.
Karena penguraian alamiah DMS sangat cepat, DMS tidak akan menimbulkan
efek rumah kaca, tidak seperti karbondioksida.
Jadi
bersyukurlah karena mereka kita masih bisa menghirup udara dengan
bebas untuk kelangausngan hidup. Lalu yang terpenting dan terutama,
bersyukurlah karena Tuhan mu telah menciptakan mereka.
Source: http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=131543